Mungkin saja hari ini kita adalah tanah yang berdiri di persimpangan
sungai. Pelan, bongkah-bongkah jiwa rontok, meski air tidak terlalu kuat
menerjang. Bahkan ia menyapa dengan senyum sumringah, tetapi tubuhmu,
jiwamu mengurus. Kebaikanmu terkubur dan dibawa arus, entah kemana.
Engkau bukan tercipta sebagai bongkah tanah yang kaku, aku juga. Mari,
sebelum waktu kita untuk menabur kebaikan terhenti, rontok terbawa ke
muara yang tidak kita kenal.
Kita hentikan ketepekuran pesimis, atau
ketengadahan angkuh. Menjadi ketepekuran perenungan, dan ketengadahan
semangat, cerminan jiwa yang masih percaya bisa bangun. Ah, manusia mana
yang belum pernah merasa terpuruk, jatuh hingga ‘pingsan’. Toh, kita
manusia, manusia yang tidak pernah diberikan atribut kesempurnaan.
Kesempurnaan itu adalah molekul dalam pencarian, bukan titik inti
manusia. Kitalah penulis puisi berjudul degradasi, saat kita larut dalam
mengeluh tanpa sebuah upaya mencari jalan, menelusuri jalan yang pekat.
Mari membawa obor-obor yang memadai sehingga mereka teriak, “oh disana
ternyata ada jalan.”
Bukan satu hal yang penting nama kita tercatat
disana, bahwa jalan ini tertemukan olehku. Bukan. Para pahlawan tidak
pernah arahkan mata hatinya untuk tujuan itu, kau pasti tahu itu. Kita
adalah pahlawan, untuk apapun yang kita dedikasikan. Bukan orientasi.
Bukan nama, hanya saja agar kelak mereka teriak girang, “oh mereka tidak
ajarkan tentang keindahan syurga dunia, tetapi kejujuran bahwa dunia
adalah tempat keringat juang tumpah” Kita, bukan bongkah tanah di tepi
sungai… yang hanya diam oleh belaian lembut kepalsuan, lalu tenggelam.
Tulisan Ustad Rahmat Abdullah
Sumber : iinparlina.wordpress.com
ikut menyimak gan
ReplyDeletesukses selalu gan infonya
ReplyDeleteditunggu artikel selanjutnya
ReplyDeleteditunggu artikel lainnya gan
ReplyDeleteikut menyimak gan
ReplyDelete